seolah cahaya hanya legenda

menghitung debar yang kini urung
mungkinkah karena samar yang tak lagi memainkan melodi hingga kejora berpijar

menyesaki hari dengan dongeng tentang ksatria, puteri dan naga
lalu terbangun esok pagi dalam benderang terang yang memanggang habis khayalan

mematung menantang mendung
namun kristal hujan enggan turun

pekat menyemarakkan wajah langit
seolah cahaya hanyalah legenda

sekerat jingga di penghabisan cakrawala

gemuruh meluruh, bergilir ragu bergulir jatuh
lirih menjadi sulih
pasang mereda, merenda lapang menghampar lega
tawa ombak terangkum lengkung senyum


hening yang berdenting
bening..
tenang samudera syahdu mengalun
anggun..


sekerat jingga di penghabisan cakrawala


menjaring mimpi
melarung janji esok pagi

petang menjemput pekat
bertumpu gemintang hingga tak sesat

lalu arakan waktu menetapi janji
dan iringan masa menepati ikrar tanpa cedera


matahari,
tenggelam dan terbit kembali
dalam tunduk penghambaan sejati

ingin menari, bersama jiwamu ^^

menulis

satu ritual ajaib yang kutahu -sejak dulu- sangat membantu.
Pertama mengenalnya, ketika segala sendu dan abu abu menjadi suatu yang tak lagi baru. Lalu, tergerak jemari untuk mencoretkan rasa, sebab lisan tak bersedia membunyikan lara.
Maka kemudian, tulisan itu berdarah darah,  dan basah.
Tak jarang, pensil kutekan kuat kuat, hingga koyak kertas yang tak pernah bersalah.
Kuat kuat kucoba tidak mempersalahkan siapapun, sebab abu abu hidupku bukan goresan pena manusia. Bahkan kanvas dan cat warnanya sama seperti yg dimiliki pelangi.
Ketika semakin lama, abu abu memudar, pendar pendar warna lain bertaburan, pena dan kertas jarang bersentuhan. Aku  sibuk menghitung jingga, kuning, merah dan biru.
Hingga kelamaan, jemari menjadi kaku, tak lagi lincah  seperti dulu.
Rindu..
Kerap kali rindu. Lalu sekali dua, mencoba gemulai, namun rasanya alunan nada dan musik hati tak sama lagi. Patah di tengah. Tak kunjung rampung.
Hingga di keesokan, juga lusa dan hari hari berikutnya, merasa cukup dengan hanya menyaksikan gempita panggung dansa, ketika jiwa jiwa lain bersorak, berlagu, bercengkerama dalam aksara tak henti hentinya.
Takjub. Mata dan jiwa yang hanya menikmati saja, mencicipi banyak porsi perbendaharaan rasa baru bagi jiwaku.

Rindu berseru seru
Tidakkah ingin menjadi satu diantara jiwa yang menari, dalam gempita panggung kehidupan, menjadi bagian dari keindahan yang menggoreskan warna berbeda bagi kejora jiwa lainnya?

aku menemukanmu

aku tak mendapatimu di permulaan senja memerah
saat segala lelah mendesak cerita tertumpah
aku tak menemukanmu di penghujung matahari
ketika semua lakon sedari pagi menyusutkan energi

aku mencarimu ketika gelap merambat tanpa salam
mengharap hangat sebelum terpejam dipeluk malam
aku mencarimu ketika pekat menggurita saat terjaga
mendamba berdua melangitkan semesta asa dan pinta

aku menemukanmu
di dalam hatiku
di sepanjang waktuku
di seluruh kisahku
di setiap doaku

mencintaimu : entah bagaimana

Aku mencintaimu, entah bagaimana mengungkapkannya
Ketika waktu telah tak seirama denganku
Ketika musim terkadang tak peduli apa mauku
Ketika angin tak selalu mengabarkan kesesuaian rasa

Aku mencintaimu, entah bagaimana menjelaskannya

alif abdurrahman fayyadh



"alif"
sejak pertengahan usia kehamilan, alif menjadi nama yang pertama mengena bagi saya, sebagai –calon- bunda.
Pun menjadi nama yang pertama kali diusulkan kepada suami, meski tidak serta merta disetujui. Lalu bermunculan kandidat nama nama lain yang bertubi tubi memenuhi inbox hape calon ayah yg saat itu -entah kenapa- masih adem ayem saja dalam proses pencarian nama. berbeda dengan calon bunda yang hilir mudik melirik buku buku kumpulan nama bayi, mengusulkan satu demi satu. Ditolak, ditampung, dipertimbangkan untuk kemudian dilupakan.
Di pertengahan pencarian, saya menemukan satu nama, "fayyadh" yg berarti orang yang mulia. Ketika dikabarkan, suami bilang juga menyukainya. Dan kami -pada akhirnya- bersepakat tentang nama ini.
Maka sementara, fayyadh adalah nama calon putra kami.
Hingga hari hari jelang kelahiran, belum ada tambahan nama yang kami mufakati. Meski kali ini, sang calon ayah telah turut larut dalam pencarian nama yg sekaligus menjadi doa. Memilihkan nama terbaik untuk calon putra kami adalah hal yang menyenangkan, meski kami selalu kebingungan merangkai doa terindah yang akan disandangnya hingga kelak kemudian.
Tibalah hari lahirnya, 17 april 2011.
Luapan syukur dan segala buncah bahagia atas sebuah anugerah membuat kami sejenak lupa, bahwa doa kami baginya belum terangkai sempurna. bahkan hingga hari ke tiga, kami masih belum menentukan nama, sampai sampai bidan menyuruh kami menuliskan sendiri nama putra kami di surat keterangan lahirnya ^__^
Jelang aqiqah, sang ayah telah mantap pada pilihannya. Menambahkan "abdurrahman" pada nama sang putra. Sebab, itulah nama yang paling disukai Alloh, demikian penjelasan sederhana darinya. Sekaligus beliau juga- sebagaimana biasa- meluluskan permintaan istri tercinta untuk menautkan "alif" pada pembuka doa.

Alhamdulillah, pada hari ketujuh, terangkailah nama itu.
Alif Abdurrahman Fayyadh.
Semoga putra pertama kami menjadi hamba Ar Rahman yang mulia.
Amiiiiiiiiiin
















rindu

merindu letup letup rasa beraneka
merindu simpul simpul senyum santun
merindu lantunan rabithah menggema dibilik bilik hati
 

Copyright © 2011 SATU SEMESTA All rights reserved.
Converted To Blogger Template by Blogspot Templates Theme By- WooThemes